Surat Terbuka: Penolakan Rencana Pembangunan Tempat Pembuangan dan Pengelolaan Sampah di Kampung Luaekama Husewa, Wamena
0 menit baca
CYBERKRIMINAL.COM, WAMENA, 21 September 2025 — Gelombang penolakan terhadap rencana pembangunan Tempat Pembuangan dan Pengelolaan Sampah (TPPS) di Kampung Luaekama, Husewa, Distrik Pugima, Kabupaten Jayawijaya semakin menguat. Melalui sebuah surat terbuka, Ambrosius Mulait—cucu dari almarhum Tete Hagaluke Hisage, pemilik hak ulayat di wilayah tersebut—menyampaikan keberatan keras atas kebijakan Pemerintah Kabupaten Jayawijaya yang dinilai mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat.
Dalam keterangannya, Ambrosius menyoroti adanya penyerahan dana kompensasi sebesar Rp1,7 miliar yang disampaikan langsung oleh Bupati Jayawijaya, Atenius Murip, S.H., M.H., kepada salah satu pihak keluarga. Dana tersebut disebut sebagai bentuk pelepasan tanah seluas 1 hektare untuk lokasi pembangunan TPPS. Ambrosius dengan tegas menolak pelepasan tanah ulayat tersebut, karena dianggap tidak melalui mekanisme musyawarah adat serta mengabaikan hak-hak generasi penerus.
Ambrosius menegaskan, tanah di Kampung Luaekama Husewa bukan sekadar aset ekonomi, tetapi merupakan ruang hidup, identitas, sekaligus warisan leluhur yang tidak bisa digantikan. Pembangunan TPPS dinilai berpotensi menimbulkan pencemaran tanah, air, dan udara yang membahayakan kesehatan masyarakat, terutama anak-anak dan generasi mendatang. Lebih jauh, ia menyebut rencana tersebut dapat merusak keseimbangan budaya dan spiritual masyarakat adat yang selama ini hidup harmonis dengan alam.
Selain itu, surat terbuka tersebut juga menyoroti absennya proses sosialisasi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta PP Nomor 22 Tahun 2021. Ambrosius menilai, tanpa sosialisasi AMDAL, masyarakat tidak memiliki kesempatan yang adil untuk mengetahui dampak proyek, menyampaikan keberatan, maupun memberikan persetujuan berdasarkan prinsip free, prior, informed consent.
Atas dasar itu, ia menyatakan enam poin penolakan, termasuk menolak segala bentuk kompensasi uang, menolak pembangunan TPPS di tanah ulayat Husewa, serta mendesak pemerintah daerah maupun provinsi mencari lokasi alternatif yang lebih ramah lingkungan dan tidak mengorbankan masyarakat adat. Ambrosius juga memperingatkan agar pemerintah tidak memaksakan kebijakan yang berpotensi memicu konflik horizontal di tengah masyarakat.
“Surat terbuka ini saya buat dengan penuh kesadaran, demi menjaga kelestarian tanah ulayat, kesehatan masyarakat, dan keberlanjutan hidup generasi kami di masa depan,” tegas Ambrosius Mulait dalam penutup suratnya.
Bawi Kogoya