Merancang Pembaruan Hukum Berbasis Nilai Nusantara: Akademisi Soroti Tarik Menarik Tradisi vs Modernisasi
Dalam kajiannya, Junaidi menilai hukum Indonesia saat ini berada dalam tarik menarik antara tradisi dan modernisasi. Di satu sisi, hukum adat dan kearifan lokal merupakan identitas moral masyarakat. Sementara di sisi lain, modernisasi hukum menuntut efisiensi, rasionalitas, serta penyesuaian terhadap perkembangan global dan teknologi.
Menurut Junaidi, sejarah hukum Indonesia menunjukkan kecenderungan meniru model hukum Barat tanpa menyesuaikan dengan realitas sosial masyarakat. Pola tersebut kerap melahirkan hukum yang dianggap formalistik dan jauh dari rasa keadilan rakyat.
“Hukum yang terlalu legalistik justru kehilangan jiwanya. Pembaruan hukum harus mengakar pada nilai sosial dan budaya masyarakat,” tulisnya.
Ia menilai kearifan lokal seperti musyawarah mufakat, gotong royong, dan keadilan komunal memiliki legitimasi sosial yang kuat. Nilai-nilai tersebut dapat menjadi fondasi moral dalam perancangan hukum nasional.
Junaidi juga menyinggung pentingnya inovasi hukum di era digital. Namun, digitalisasi tidak boleh menghilangkan identitas lokal. Menurutnya, teknologi justru dapat digunakan untuk mengarsipkan hukum adat, memperkuat penyelesaian sengketa berbasis komunitas, serta menjaga eksistensi nilai budaya di tengah perkembangan kecerdasan buatan.
“Hukum Indonesia masa depan harus modern secara kelembagaan, namun tetap berakar secara kultural. Hukum yang hidup adalah hukum yang tumbuh dari rakyat, bekerja untuk rakyat, dan kembali kepada rakyat,” tambahnya.
Melalui gagasannya, Junaidi mendorong reformasi hukum yang humanis, adaptif, dan kontekstual. Ia menekankan, kekuatan hukum Indonesia tidak hanya lahir dari regulasi modern, tetapi juga dari kearifan lokal yang telah mengatur kehidupan masyarakat jauh sebelum hadirnya sistem hukum formal.
Sujai




