Skandal Tambang Ilegal di Hutan Lindung Bangka Tengah: Oknum TNI Diduga Jadi Dalang Utama





Skandal Tambang Ilegal di Hutan Lindung Bangka Tengah: Oknum TNI Diduga Jadi Dalang Utama

Harman
Juni 22, 2025

CYBERKRIMINAL.COM, BANGKA TENGAH - Pemberitaan kegiatan tambang timah ilegal dan 3 unit alat berat yang beroperasi di kawasan hutan lindung masih terus bergulir dan menjadi  sorotan tajam  di kalangan masyarakat dan pemerintah, khususnya warga masyarakat Kecamatan Lubuk Besar dan Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah, Sabtu 21 Juni 2025

Pasalnya Tambang pasir timah yang beberapa waktu lalu sempat ditertibkan oleh tim gabungan KPH Sungai Simbulan  ini kembali beroperasi  merambah dan merusak kawasan hutan lindung dengan menggunakan alat berat, tiga unit excavator dan buldozer di Dusun Nadi, Kecamatan Lubuk Besar.

Secara jelas mereka ( pelaku tambang.red) dengan terang - terangan tanpa ada rasa takut  melanggar Undang-Undang Kehutanan Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan serta Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020.

Menariknya dalam permasalahan ini  mengungkapkan bahwa tambang pasir timah itu diduga didukung oleh oknum militer Kopral Viktor Sinaga yang bertugas disalah satu kesatuan Korem Gaya 045 di Kota Pangkalpinang, yang turut memperparah situasi. Hal itu dikuatkan atas pengakuannya saat ia memberikan jawaban konfirmasi kepada wartawan media ini dengan sebuah pengakuan yang mengejutkan dengan menyebutkan bahwa  tambang tersebut adalah miliknya.

” Tidak ada kaitannya dengan Igus, itu tambang kami sendiri,” sebutnya dikutip dari pemberitaan media online sebelumnya yang sempat viral. Atas pengakuannya tersebut  publik mempertanyakan loyalitas oknum TNI  tersebut kepada pimpinannya  Panglima TNI yang telah menandatangani MoU dengan Kementerian Kehutanan RI terkait dukungannya untuk melestarikan hutan dan lingkungan.

Dilansir dari rilis Puspen TNI " Dalam sambutannya, Panglima TNI menyampaikan bahwa kerja sama ini merupakan langkah strategis untuk mendukung pelestarian lingkungan dan pengelolaan Sumber Daya Alam secara berkelanjutan.

"Melalui pelaksanaan ini diharapkan terjalin kerja sama yang lebih baik dan berkelanjutan dalam berbagai program strategis seperti rehabilitasi hutan dan lahan, pengamanan kawasan konservasi, serta edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat terkait pentingnya menjaga lingkungan hidup," ujarnya.

Spanduk hanya Berupa Simbolisasi, Tanpa ada Tindaklanjut dari KPH Sungai Simbulan

Saat ini, aktivitas tambang tersebut terus berjalan meski telah dilakukan penertiban pada tanggal 17 Juni 2025. Pada saat melakukan  penertiban , spanduk larangan beraktivitas di kawasan itu yang dipasang oleh KPHP di lokasi tambang tampaknya hanya berupa simbolisasi tanpa ada tindakan lebih lanjut berupa pengawasan terhadap kawasan tersebut untuk memastikan bahwa spanduk tersebut diikuti dengan langkah-langkah penegakan hukum yang lebih tegas.

Dari segi dampak, operasional tambang ilegal ini berpotensi menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan dan masyarakat setempat. Selain kerusakan hutan yang semakin parah dan meluas, aktivitas penambangan ini juga dapat mengganggu kehidupan sehari-hari terhadap warga sekitar, termasuk potensi kehilangan sumber daya alam yang menjadi tumpuan hidup mereka. Menurut data terkini, volume tambang yang dihasilkan oleh kegiatan ini cukup signifikan, sehingga menambah keresahan di kalangan penduduk setempat.

Oleh karena itu, sangat penting bagi Gakkum DLHK Babel untuk turun tangan bersama KPH Sungai simbulan dan melakukan penertiban kembali  terhadap aktivitas ilegal ini. Keseriusan dalam menanggapi situasi akan menjadi faktor penting dalam menjaga kelestarian hutan lindung dan kehidupan masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam di sekitarnya. Jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat, kondisi ini berpotensi akan berlarut - larut merugikan lingkungan, dan masyarakat yang ada di sekitar Dusun Nadi, Kecamatan Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah.

Peran Vital  Kopral Naga dalam Operasi Tambang milik Igus dan Tambang Rajuk di Kolong Koboy di Kota Pangkalpinang

Kopral Naga, seorang oknum anggota TNI, yang diduga kuat terlibat dalam aktivitas tambang ilegal yang beroperasi di kawasan hutan lindung Dusun Nadi, dengan menggunakan alat berat jenis excavator dan buldozer, sangat jelas melanggar Undang-Undang Kehutanan Nomor 18 Tahun 2013 mengenai pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan serta UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 serta melanggar Nota Kesepahaman ( MoU) antara Panglima TNI dan Kementerian Kehutanan RI.

Dalam konteks ini, peran Kopral Naga sangat krusial, atas keberadaannya dalam memberikan dukungannya kepada Igus  pelaku tambang ilegal sekaligus kolektor pasir timah ilegal. Sehingga aktivitas yang beroperasi di dalam kawasan hutan lindung Dusun Nadi, Kecamatan Lubuk Besar, dan melanggar hukum ini dapat terus berlangsung. Tak hanya itu, ternyata oknum TNI Kopral  Naga juga mengkoordinir tambang apung jenis rajuk tower di lokasi kolong koboy yang berada tepat di kota Pangkalpinang yang selama ini telah diberlakukan zona zero tambang.

" Naga itu ada juga mengkoordinir tambang di kolong koboy Bang," sebut nara sumber yang tidak mau disebutkan namanya saat memberikan informasi terkait kegiatan Oknum TNI itu.


Jika ditelisik lebih lanjut dukungan terhadap aktivitas tambang ilegal ini dapat menciptakan dampak yang sangat ekstrim terhadap penegakan hukum di daerah tersebut. KPHP Sungai Simbulan beserta tim gabungan bila perlu dibantu oleg GAKKUM DLHK Provinsi Bangka Belitung harus kembali melakukan pengecekan untuk memastikan bahwa aktivitas ini tidak hanya dihentikan sementara tetapi juga ditindaklanjuti dengan sanksi yang tegas terhadap pelaku tambang yang diduga telah melakukan perusakan lingkungan dan hutan lindung.

Keberadaan spanduk larangan yang dipasang oleh KPHP jangan cuma berupa simbolisasi, namun harus dijadikan tanda bahwa hukum tetap berlaku, tanpa memandang status apapun, termasuk mereka yang mempunyai pengaruh seperti Kopral Naga oknum TNI yang bertugas di Kesatuan Korem Gaya 045 Pangkalpinang

Dari perspektif  sosial dan politik, sepak terjang oknum TNI Kopral Naga dalam membekingi tambang baik tambang milik Igus maupun tambang rajuk yang berada dilokasi zero tambang kota Pangkalpinang seolah  memberikan pengaruh yang kuat, sehingga sering kali membuat masyarakat menjadi skeptis terhadap kemampuan pihak yang berwenang dalam hal ini KPH Sungai Simbulan dan Aparat Penegak Hukum ( APH ) untuk melakukan penindakan tegas dalam  melindungi kawasan hutan lindung dan menjaga  kelestarian Lingkungan.

KPH Sungai Simbulan bisa Berkolaborasi dengan Corps Polisi Militer

Dengan adanya keterlibatan oknum TNI seperti Kopral Naga, kegiatan penambangan timah  ilegal ini menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat, sehingga upaya mereka untuk menjaga kelestarian hutan dan lingkungan menjadi terhalang oleh praktik-praktik kotor yang tidak sesuai dengan norma hukum. Oleh karena itu, keberanian untuk bertindak dalam  menegakkan hukum dengan tegas menjadi sangat penting, agar tidak terdapat ketimpangan antara kekuasaan dan penegakan hukum di wilayah tersebut. Dengan ditandatanganinya MoU antara Panglima TNI, Kemenhut RI dan Kementerian Lingkungan Hidup, pihak dinas kehutan seperti KPH Sungai Simbulan dan Gakkum DLHK Babel tentunya bisa berkolaborasi dengan Corps Polisi Militer dalam melaklukan penindakan jika ada oknum - oknum TNI yang melakukan kejahatan di bidang kehutanan dan lingkungan hidup sperti halnya oknum TNI Kopral Viktor Sinaga.

Dampak Lingkungan dan Sosial dari Tambang

Aktivitas tambang ilegal di hutan lindung Dusun Nadi membawa serta berbagai dampak negatif yang signifikan, baik dari segi lingkungan maupun sosial. Penggunaan alat berat seperti excavator dan buldozer dalam operasi tambang ilegal  ini bukan hanya melanggar UU Kehutanan Nomor 18 Tahun 2013, tetapi juga menyebabkan kerusakan yang mendalam pada ekosistem yang ada.

Penebangan pohon secara liar  dan penggalian tanah yang berlebihan jelas mengancam keberadaan keanekaragaman hayati, yang menjadi salah satu aset terpenting bagi kehidupan di daerah tersebut.

Dampak lingkungan yang paling mencolok akibat tambang tersebut adalah pencemaran air. Proses penambangan seringkali mengakibatkan aliran limbah beracun yang mencemari sumber air di sekitar.

Hal ini tidak hanya merugikan flora dan fauna setempat, tetapi juga berdampak buruk bagi masyarakat lokal yang bergantung pada sumber air tersebut untuk kebutuhan sehari-hari. Dengan alat berat yang digunakan dalam aktivitas ini, risiko pencemaran akan semakin terbuka lebar, dan upaya untuk mengembalikan kualitas lingkungan akan menjadi semakin rumit.

Dari sisi sosial, masyarakat sekitar mengalami kerugian signifikan akibat aktivitas tambang ilegal yang tidak memberikan kontrbusi apapun kepada daerah setemapat selain dari kerusakan lingkungan dan hutan. Testimoni dari warga menunjukkan bahwa keberadaan tambang tidak hanya menghancurkan ketenangan dan keamanan, tetapi juga menggangu sistematis kehidupan sosial mereka.

Kegiatan ini juga dapat memicu konflik dan ketegangan antara mereka yang bekerja di tambang dan mereka yang menentangnya, serta menantang hak-hak masyarakat atas tanah dan lingkungan mereka. Selain itu, aktivitas tambang tersebut berpotensi menciptakan ketergantungan ekonomi yang tidak stabil, di mana masyarakat terjebak dalam siklus ekonomi yang tidak berkelanjutan.

Mempertimbangkan semua itu, KPHP  Sungai Simbulan, Gakkum DLHK Provinsi Babel dan APH setempat  harus kembali melakukan pengecekan menyeluruh terhadap tambang tersebut untuk menegakkan hukum dan melindungi lingkungan serta masyarakat lokal. Pengawasan yang ketat, terutama terkait dengan spanduk larangan yang dipasang oleh kphp, juga harus melebihi simbolisasi, agar efektivitasnya dapat dirasakan oleh semua pihak yang terlibat.

Langkah-langkah yang Dapat Diambil untuk Mengatasi Masalah Ini

Masalah tambang ilegal di hutan lindung, seperti yang terjadi di Dusun Nadi, memerlukan pendekatan komprehensif dari pemerintah, masyarakat, dan organisasi lingkungan. Pertama-tama, penegakan hukum harus ditingkatkan. Gakkum DLHK diminta turun untuk melakukan penertiban kembali terhadap aktivitas tambang ilegal yang beroperasi dengan cara tidak sah. Penggunaan alat berat seperti excavator dan buldozer di kawasan hutan lindung tidak hanya melanggar Undang-Undang Kehutanan Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, tetapi juga Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020 dan Nota Kesepahaman antara Panglima TNI dan Kemenhut RI.  Dengan kata lain, pihak berwenang harus menindak tegas seperti yang dilakukan pada 17 Juni 2025, ketika spanduk larangan beraktivitas sempat dipasang.

Selain itu, KPHP Sungai Simbulan beserta Tim Gabungan harus kembali melakukan pengecekan untuk memastikan bahwa spanduk larangan yang dipasang bukan hanya simbolisasi. Fungsi spanduk tersebut harus dioptimalkan agar efektif dalam mengedukasi masyarakat tentang dampak negatif dari kegiatan tambang. Masyarakat juga diminta untuk berperan aktif dalam pelestarian lingkungan, misalnya dengan melaporkan aktivitas mencurigakan dan mendukung program-program kampanye yang mendorong perlunya menjaga hutan lindung. Kerjasama antara masyarakat dan organisasi lingkungan sangat penting untuk menciptakan kesadaran akan akibat jangka panjang dari penambangan ilegal yang ditegakkan oleh oknum, seperti yang terindikasi dengan keterlibatan oknum  TNI Kopral Viktor Sinaga.

Langkah nyata lainnya adalah meningkatkan transparansi dalam pengelolaan kawasan hutan. Monitor dan evaluasi berkala oleh organisasi independen dapat membantu dalam menciptakan akuntabilitas. Dengan begitu, ancaman terhadap pelestarian hutan akan lebih mudah terpantau dan diatasi. Reformasi dalam pendekatan kebijakan dan pembangunan yang berkelanjutan juga harus dipertimbangkan untuk melindungi keanekaragaman hayati di kawasan hutan lindung. 



(Nyimas yeni lestari)