CYBERKRIMINAL.COM, Bangka Selatan - Aktivitas penambangan timah ilegal kembali marak terjadi di perairan Sukadamai, Payak Ubi, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, tepatnya di kawasan Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Timah Tbk. Puluhan unit Ponton Isap Produksi (PIP) dan Rajuk Mini terlihat bebas beroperasi hanya beberapa meter dari bibir pantai, meskipun kawasan tersebut sebelumnya telah beberapa kali ditertibkan aparat penegak hukum. (01 Mei 2025)
Seorang sumber yang tidak ingin disebutkan namanya mengungkapkan bahwa aktivitas penambangan di wilayah tersebut sempat dihentikan oleh aparat, namun dalam beberapa hari terakhir kembali marak. "Saya tidak tahu siapa yang mengkoordinir, tapi sekarang kembali ramai," ujarnya singkat.
Pantauan di lapangan menunjukkan setidaknya ada puluhan Tambang Inkonvensional (TI) jenis Tower Rajuk dan Rajuk Mini yang beroperasi di wilayah IUP PT Timah. Kegiatan ini diduga tidak memiliki izin resmi dan melanggar ketentuan hukum pertambangan.
Dalam pengumpulan informasi, diketahui ada sebelas nama yang disebut sebagai pembeli atau kolektor timah dari hasil tambang ilegal tersebut. Mereka adalah:
1. Mitra
2. Jeki
3. Pendi (Paret 8)
4. Oyong
5. Gendet
6. Adi (Pam)
7. Doni
8. Gita
9. Jaka
10. Sion
11. Jaka
Kesebelas kolektor ini diduga dikendalikan oleh seseorang bernama Dedi, yang disebut-sebut berperan sebagai koordinator dan penyalur timah ke pihak yang disebut sebagai "big bos" berinisial Akon. Informasi yang beredar menyebutkan bahwa Akon diduga memiliki hubungan dengan oknum anggota TNI berpangkat, berinisial Dedy.
Upaya konfirmasi kepada Dedi maupun Akon melalui pesan singkat WhatsApp tidak mendapat tanggapan. Keduanya memilih bungkam saat diminta klarifikasi terkait asal usul timah yang ditambang secara ilegal.
Sebagai informasi, aktivitas penambangan tanpa izin merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta perubahan dalam Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2020. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.
(Nyimas yeni lestari)