Lindungi Predator, Abaikan Korban? Tuntutan Jaksa di Barru Tuai Kecaman




Lindungi Predator, Abaikan Korban? Tuntutan Jaksa di Barru Tuai Kecaman

Redaksi
Mei 11, 2025

CYBERKRIMINAL.COM, BARRU, SULAWESI SELATAN, (11/05/2025) – Publik Sulawesi Selatan dikejutkan dan dibuat geram oleh tuntutan pidana yang dinilai janggal dalam kasus kekerasan seksual terhadap seorang penyandang disabilitas ganda berusia 19 tahun. Dalam persidangan perkara Nomor: 11/Pid.Sus/2025/PN Bar di Pengadilan Negeri Barru, Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya menuntut hukuman tiga tahun penjara bagi terdakwa, sebuah vonis yang kontras dengan fakta-fakta persidangan dan bukti visum yang mengindikasikan adanya kekerasan seksual fisik.

Bukti Visum dan Keterangan Saksi Terabaikan?

Sidang mengungkap detail mengerikan pelecehan seksual yang dialami korban, termasuk tindakan fisik invasif. Hasil visum et repertum secara jelas menunjukkan adanya luka lecet pada organ vital korban serta memar di bagian tubuh lainnya. Mirisnya, terdakwa selama proses hukum berlangsung memilih untuk menyangkal perbuatannya dan tidak menunjukkan sedikit pun itikad baik atau penyesalan. Namun, fakta-fakta memberatkan ini seolah diabaikan oleh JPU dalam formulasi tuntutannya.

Pakar Hukum Angkat Bicara: "Ini Tuntutan yang Mengkhianati Keadilan!"

Reaksi keras atas tuntutan ringan ini datang dari berbagai pihak, termasuk pakar hukum pidana, Pirman, S.H., M.H. Beliau dengan tegas menyatakan bahwa tuntutan jaksa tidak tepat dan menyesatkan. Menurutnya, perbuatan terdakwa seharusnya dijerat dengan pasal-pasal dalam UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), khususnya Pasal 15 jo Pasal 6 huruf c dan huruf d, mengingat korban adalah penyandang disabilitas dan tindakan pelaku mencakup penetrasi non-konsensual yang merupakan bentuk kekerasan seksual berat.

"Ini jelas adalah kekerasan seksual berat yang menyasar kelompok disabilitas ganda, yang seharusnya menjadi faktor pemberat hukuman. Ancaman pidananya maksimal 15 tahun, bahkan bisa ditambah sepertiga karena korban adalah penyandang disabilitas sesuai Pasal 60 UU TPKS. Tuntutan tiga tahun adalah bentuk impunitas yang dilegalkan oleh sistem," kecam Pirman. Lebih lanjut, Pirman menekankan bahwa peran jaksa adalah representasi negara dalam melindungi kelompok masyarakat yang paling rentan.
Amarah Aktivis: Negara Abai, Rakyat Siap Bertindak!

Gelombang protes juga datang dari organisasi masyarakat sipil, Front Pembebasan Rakyat (FPR). Aktivis FPR, Alif Daisuri, mengecam tuntutan ringan tersebut sebagai "tamparan keras" bagi perjuangan keadilan kaum disabilitas.

"Ini bukan sekadar kasus pencabulan biasa, ini adalah kekerasan seksual terhadap anak penyandang disabilitas ganda. Jika negara melalui aparat penegak hukumnya tidak memberikan hukuman maksimal, kami tidak akan tinggal diam. Ini adalah persoalan prinsip, martabat kemanusiaan, dan keadilan yang fundamental," tegas Alif. FPR bahkan mengancam akan menggalang solidaritas nasional dan melakukan aksi demonstrasi besar-besaran jika vonis hakim nantinya tidak mencerminkan rasa keadilan.
Kejanggalan Akses Salinan Tuntutan dan Dugaan Pelanggaran Etik
Selain tuntutan yang kontroversial, pendamping hukum korban juga menyoroti sikap tertutup Kejaksaan yang menolak memberikan salinan surat tuntutan tanpa alasan yang jelas. Tindakan ini dinilai berpotensi melanggar kode etik dan profesionalisme seorang jaksa.

"Kami telah menyerahkan nomor perkara ini kepada publik dan lembaga pengawas agar dilakukan evaluasi menyeluruh. Kami tidak ingin institusi hukum justru menjadi alat untuk melindungi pelaku kekerasan terhadap kelompok yang paling rentan," ujar perwakilan pendamping hukum korban dengan nada kecewa.

Desakan Evaluasi dan Pemecatan JPU yang Diduga Lalai

Kini, pendamping hukum korban bersama dengan jaringan organisasi sipil dan advokat lainnya mendesak Komisi Kejaksaan, Kejaksaan Agung, serta Komnas Perempuan untuk segera melakukan investigasi mendalam terhadap JPU yang menangani perkara ini. Mereka menuntut agar jika terbukti adanya kelalaian atau bahkan kesengajaan dalam meringankan tuntutan, jaksa yang bersangkutan harus diberikan sanksi tegas, termasuk pemecatan. Kasus ini menjadi sorotan tajam dan memicu pertanyaan serius mengenai komitmen penegakan hukum terhadap perlindungan kelompok rentan, khususnya penyandang disabilitas, di Indonesia.



Reporter: MDS
Lokasi: Barru, Sulawesi Selatan